Sabtu, 12 Maret 2011

ASKEP MCI

ASKEP INFARK MIOKARDIUM

Pengertian
Keadaan kematian miokardium karena adanya penghentian aliran darah dan O2 pada miokardium sebagai akibat sumbatan pada arteri koronaria dan cabang-cabangnya.

Patofisiologi
Sumbatan total dan sub total miokardium dan cabang-cabangnya oleh Arteriosclerosis atau Trombus koroner, aliran darah dan oksigen mikardium tidak adequat, dalam masa waktu 30 – 45 menit akan terjadi kematian miokardium, terjadi necrosis, kemudian terjadi Infark Miokardium.

Tanda dan gejala
Keluhan utama adalah nyeri dada retrosternal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas, seperti rasa ditindih barang berat, nyeri menjalar umumnya ke lengan kiri, bahu, leher, rahang, punggung dan daerah epigastrium. Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak nafas, pusing, keringat dingin, berdebar-debar, takikardia, kulit pucat, kulit dingin dan hipotensi.

Tes diagnostik
a. EKG, akan didapatkan peningkatan amplitudo gelombang “T” pada sadapan standar (normal < 5 mm), segmen atau interval “ST” akan berkurang atau < 1 mm (normal 2–3 mm). b. Ekokardiograpi c. Pemeriksaan Radio Isotop seperti Radionuclide Imaging, Pyrophospate Scanning, Thallium Scanning. d. MRI (Magnetik Resonance Imaging). Penatalaksanaan medis a. Mortalitas umumnya akan terjadi dalam 4 jam pertama. 24 jam berikutnya resiko tinggi. b. Perawatan dilakukan di ruang UPI kardiovaskuler. c. Tirah baring total pada fase akut. d. Pengendalian rasa nyeri dengan Pethidin atau Morfin (nyeri, gelisah akan menimbulkan rangsangan syaraf simpatis yang meningkatkan kebutuhan O2, terjadilah arithmia). e. Pasang infus Dextrose 5 %, perhatikan batasan cairan. f. Diet rendah lemak, rendah garam, rendah kolesterol. Pada fase akut makan makanan cair atau saring. Biasanya pasien juga mengalami mual, muntah, hati-hati resiko aspirasi dan kardiak arrest. g. Pemberian terapi oksigen 2–4 liter/menit. h. Pemantauan EKG untuk mendeteksi arithmia. i. Pengobatan dengan obat-obat golongan trombolitik atau anti koagulan seperti Heparin, Aspirin dll. Komplikasi a. Gagal jantung kongestif, b. Syok kardiogenik, c. Infark miokard yang meluas, d. Emboli pulmonal, e. Perikarditis, f. Ruptur ventrikular, g. Aneurisma ventrikular. Pengkajian a. Kaji nyeri dada 1) Persepsi pasien tentang sakit dada, 2) Lokasi nyeri akan menjalar ke dua lengan bagian dalam, 3) Kaji kualitas nyeri dengan skala 0 – 10, 4) Kaji serangan dan lamanya sakit, serangan apakah secara tiba-tiba, berangsur-angsur setelah beberapa menit atau setelah beberapa jam. 5) Faktor-faktor pencetus, seperti saat marah, emosi yang hebat, pada saat istirahat. 6) Kaji faktor-faktor yang menghilangkan atau tidak akan hilang dengan istirahat, rebah posisi tidur atau obat Nitrigliserin. 7) Kaji tanda dan gejala pendukung lainnya seperti sesak nafas, pusing, lemah, perasaan akan pingsan/Sinscop. 8) Kaji tanda dan gejala gangguan gastro intestinal seperti SUH, mual sampai muntah. 9) Kaji faktor-faktor resiko lainnya seperti Perokok berat, hipertensi, diabetesmelitus, stres fisik dan mental, kurang berolah raga, hiper kolesterol dll. 10) Adakah gelisah atau seperti ketakutan, 11) TTV seperti TD akan menurun, DN dan P akan meningkat, suhu akan meningkat 3 – 7 hari pertama. 12) Diaporesis, pucat, kulit lembab dan dingin, 13) Data laboratorium a) Saat mulai sakit s/d 12 jam pertama LDH (Lactat Dehidrogenase) akan meningkat sampai 10 hari kemudian, b) CPK-MB (enzim kreatininkinase) akan meningkat 4 – 6 jam sesudah serangan sakit, biasanya akan normal setelah 3 – 4 hari kemudian. c) Pada hari kedua minggu pertama, Leukosit akan meningkat 10.000 – 20.000 /mm3 Diagnosa keperawatan a. Gangguan rasa nyaman : Nyeri dada s/d iskemik miokard. Tujuan Nyeri berangsur-angsur berkurang sampai dengan hilang. Rencana tindakan : 1) Anjurkan pasien istirahat baring 24 – 30 jam pertama serta beri posisi aman dan nyaman. 2) Kaji dan catat tingkat nyeri serta faktor yang memperberat rasa nyeri 3) Observasi TTV dengan ketat terutama selama nyeri berlangsung, 4) Anjurkan tehnik relaksasi, 1) Monitor EKG, lapor bila ada kelainan, 2) Jelaskan kepada pasien dan keluarga penyebab timbulnya nyeri dada. 3) Kolaborasi dokter untuk pemberian Petidin ataupun Morfin. b. Potensial perubahan kardiak out-put s/d gangguan listrik jantung. Tujuan Pasien dapat mempertahankan hemodinamik dan kardiak out-put. Rencana tindakan 1) Anjurkan pasien istirahat baring, 2) Kaji dan lapor tanda dan gejala penurunan kardiak out-put seperti hipotensi, oliguria, malaise, kulit dingin, pucat, diaporesis, pusing dan sesak nafas. 3) Ukur cairan masuk dan keluar dengan ketat, 4) Cegah pasien untuk mengejan (palsava manuver), kolaborasi dokter untuk pemberian obat laxansia untuk memudahkan defekasi, 5) Berikan ventilasi adequat, teraphi oksigen khususnya 24 – 48 jam pertama sesuai kebutuhan. 6) Melaksanakan program pengobatan: Lanoksin, Atropin, Isoprotenol, Propanolol (hitung HR dan obat jangan digerus). c. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan ADL s/d kelemahan fisik dn immobilisasi. Tujuan ADL terpenuhi Rencana tindakan 1) Kaji ketidak mampuan melakukan ADL (adakah yang mampu dilakukannya) 2) Bantu sepenuhnya dalam melakukan ADL (jika belum toleransi) 3) Beri dukungan dan jelaskan tujuan immobilisasi (mengurangi kebutuhan O2 miokardium), 4) Ajar pasien merawat diri secara bertahap atau sesuai batas toleransi, 5) Anjurkan paien untuk segera menghentikan aktivitas bila timbul nyeri dada secara tiba-tiba atau bila DN meningkat sampai > 100 kali/menit.

d. Kurang pengetahuan pasien tentang proses penyakit, perawatan dan pengobatan s/d kurang informasi.

Tujuan
Pengetahuan pasien tentang proses pnyakit, perawatan dan pengobatan merningkat.

Rencana tindakan
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perjalanan penyakit, perawatan dan pengobatan.
2) Beri penjelasan yang dibutuhkan pasien dan keluarganya tentang proses penyakit, perawatan dan pengobatan (dosis, manfaat, efek samping) dengan bahasa yang mudah difahami.
3) Beri kesempatan kepada pasien dan kelurganya untuk bertanya.

e. Potensial tidak efektifnya mekanisme koping dan penyesuaian individu dan keluarga s/d perubahan status kesehatan.

Tujuan
Pasien dan keluarga dapat beradaptasi dengan program perawatan dan pengobatan di rumah.

Rencana tindakan
1) Jelaskan kepada pasien dan keluarga pentingnya melakukan atau meneruskan program latihan fisik di rumah.
2) Beri pendekatan kepada keluarga pasien agar mau memberikan dukungan kepada pasien,
3) Anjurkan pasien untuk bergabung dengan klab jantung sehat (jika ada),
4) Berikan alamat yang jelas tempat rujukan apabila mengalami nyeri dada hebat secara tiba-tiba yang disertai sesak nafas.

Jumat, 04 Maret 2011

ASKEP DM

TINJAUAN TEORITIS


A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Definisi
Diabetes Melitus merupakan kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner and Suddarth 2000).
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya produksi insulin yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. (Joyce, M. Black, 1997).

2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan organ yang panjang dan ramping. Pankreas merupakan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah, panjangnya + 15 cm mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gram terbentang pada vertebra lumbalis I dan II di belakang lambung.
a. Bagian dari pankreas terdiri atas :
1) Kepala (kaput)
Terletak di sebelah kanan dari organ abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya.
2) Badan (korpus)
Merupakan bagian utama dari organ ini, letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I.
3) Ekor (kaudal)
Bagian ruang di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.

Fungsi Pankreas
Pankreas memiliki baik fungsi endokrin maupun eksokrin, dan kedua fungsi ini saling berhubungan. Fungsi eksokrin yang utama atau membentuk getah pankreas yang berisi enzim dan elektrolit seperti pethidine, tripsine dan amilase yang memfasilitasi proses pencernaan melalui sekresi enzim-enzim ke dalam duodenum proksimal.
Fungsi endokrin :
1) Sel alpha
Mensekresikan glukagon yang berfungsi meningkatkan glukoneogenesis untuk meningkatkan glukosa darah.
2) Sel beta
Mensekresikan insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang menstimulasikan permeabilitas sel sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel.
3) Sel delta
Mensekresikan hormon somastatin yang belum jelas fungsinya.
b. Peranan pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa
Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, disakarida dan polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan absorbsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proximal. Sesudah absorbsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar glukosa darah sebagian besar tergantung dari :
1) Ekstraksi glukosa
2) Sintesis glikogen
3) Glikogenesis dalam hati.
Selain itu, jaringan perifer otot dan adiposa juga mempergunakan glukosa sebagai sumber energi mereka. Jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah meskipun secara kuantitatif tidak sebesar hati.
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis beberapa hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai :
1) Hormon yang merendahkan kadar glukosa darah.
2) Hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah.
Insulin merupakan hormon yang menurunkan glukosa darah. Insulin dibentuk oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas. Sebaliknya, ada beberapa hormon tertentu yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain :
1) Glukagon yang disekresi oleh sel-sel alpa pulau langerhans.
2) Epinefrin yang disekresikan oleh medula adrenal dan jaringan kromafin.
3) Glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal dan
4) Growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.
Glukagon, epinefrin, glukokortikoid dan growth hormone membentuk suatu mekanisme counter regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin.

3. Etiologi
a. DM tipe I (IDDM) : 5-10% dari kasus.
1) Faktor genetik
2) Faktor imunologi
3) Faktor lingkungan (infeksi virus).
b. DM tipe II (NIDDM) : 90% dari kasus.
1) Genetik
2) Usia > 45 tahun
3) Obesitas
4) Kelompok etnis (golongan etisparik dan penduduk asli Amerika, tertentu memiliki kemungkinan yang lebih baik/besar untuk terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afrika, Amerika.

4. Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Tipe I / IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Terjadi karena kekurangan produksi insulin, tidak berfungsinya tempat reseptor insulin yang mana akhir dari produksi energi tersebut dibutuhkan oleh tubuh, IDDM adalah diagnosa dimana terjadi peningkatan glukosa dalam plasma darah yang berkisar antara 140-200 mg/dl, biasanya disertai adanya keton dalam darah dan urin. Dimana terjadi juga peningkatan glukosa dalam darah (hiperglikemi) karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ada disebut “three polys” (poliuria, polidipsi, polifagi).
b. Tipe II / NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Pada tipe ini produksi insulin terhambat atau berkurang, biasanya resistensi terhadap kerja insulin normal. Karena interaksi insulin dengan reseptor insulin pada sel dan berkurangnya sekresi insulin. Pada tipe ini cenderung mengalami penurunan berat badan. Gejala klasik NIDDM : poliuria, polidipsi.

5. Patofisiologi
Pada Diabetes Melitus tipe I
Pada diabetes tipe ini terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa tersebut meningkat dan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

Pada Diabetes Melitus tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresi. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel Beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan yang mencakup kelelahan, irritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina, atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).

6. Tanda dan Gejala
a. Poliuria
b. Polidipsi
c. Polifagia
d. Penurunan berat badan
e. Blured vision
f. Iritasi di sekitar kemaluan (infeksi jamur) : jumlah glukosa yang besar dalam urin.
g. Kelelahan dan kelemahan.
h. Mual, muntah, keringat dingin, gemetaran, sakit kepala, palpitasi, baal, kesemutan, hipertensi, glukosuria, proteinuria.

7. Test Diagnostik
Laboratorium
a. Serum glukosa test : meningkat > 200 mg/dl merupakan tanda dan gejala klasik dari diagnosa diabetes melitus.
b. Darah glukosa puasa : lebih dari 140 mg/dl
c. KH : kadar gula diperiksa secara periodik yang bertujuan untuk evaluasi terapi.
d. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya arterosklerosis.
e. AGD: pH menurun dan HCO3 menurun (asidosis) metabolik kompensasi alkalosi respiratori.
f. Ureum/kreatinin : meningkat, menandakan dehidrasi atau penurunan fungsi ginjal.
g. NPP : gula darah diperiksa dua kali yaitu sebelum makan dan dua jam setelah makan dengan tujuan menegakkan diagnosa dan ditujukan pada klien yang sama sekali belum diketahui adanya penyakit diabetes melitus.
h. Ht meningkat : leukosit merupakan respon terhadap stress/infeksi.
i. Elektrolit : Natrium mungkin normal, meningkat/menurun. Kalium normal/peningkatan suhu (perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun. Fosfor lebih sering menurun.
j. EKG : untuk mengetahui kelainan jantung.

8. Pengelolaan Diabetes Melitus
a. Diet rendah karbohidrat, tinggi serat, rendah lemak.
Tujuan pengobatan diet pada diabetes melitus :
1) Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal.
2) Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
3) Mencegah komplikasi akut dan kronik.
4) Meningkatkan kualitas hidup.
Pada dasarnya penderita DM harus mengikuti prinsip berikut ini :
1) Cukup kalori untuk mencapai atau mempertahankan BB ideal.
2) Perhatikan bila ada komplikasi.
3) Cukup vitamin dan mineral.
b. Olahraga
Efek olahraga pada pengidap DM :
Peran insulin yang pasti dalam respon metabolik terhadap olahraga tergantung pada persediaan insulin. Terlalu banyak insulin akan menurunkan produk glukosa hati dan menurunkan liposis, jadi menurunkan cadangan tenaga yang diperlukan. Apabila insulin dalam jumlah yang cukup atau hanya sedikit saja yang berkurang. Olahraga menurunkan kadar glukosa darah akibat pemakaian yang meningkat dan perbaikan dalam glikogenolisis hati.
Jadi hasil keseluruhan adalah menguntungkan latihan olahraga teratur karena juga dapat menurunkan kadar trigliserida.
c. Pengelolaan farmakologi oral
1) Obat hipoglikemia oral
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan mensekresikan insulin. Obat ini tidak dapat dipakai pada pasien IDDM, seperti golongan Sulfomilurea, Biquonid.
2) Insulin
Reseptor insulin mempunyai 2 fungsi utama :
a. Membedakan bahan-bahan lain dengan insulin kemudian mengikatnya dengan cepat secara reversial.
b. Pembentukan kompleks reseptor insulin akan merangsang tongkai kejadian intraseluler yang kemudian mengarah terjadinya efek insulin yang karakteristik.
Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya kadar glukosa darah saja, tetapi juga faktor-faktor lain, yaitu berat badan, tekanan darah dan kadar lipid.

9. Komplikasi
a. Perubahan makrovaskuler
Insulin memainkan peranan utama dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu diabetes dianggap memberikan peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat mempercepat arterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh-pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat menyebabkan iskemik jaringan, dengan akibat yang timbul berupa penyakit cerebro vaskuler, penyakit arteri koroner, stenosis arteri venalis dan penyakit-penyakit vaskuler perifer.
b. Perubahan mikrovaskuler
Perubahan tersebut ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh-pembuluh kapiler. Perubahan ini sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya neuropati retinopati diabetik.
c. Nefropati
Salah satu akibat utama dari perubahan-perubahan mikrovaskuler adalah perubahan struktur dan fungsi ginjal.
Empat jenis lesi yang sering timbul adalah pyelonefritis, lesi-lesi glomerulus, arteriosklerosis arteri renalis dan arteri afferent dan defferent, serta lesi-lesi tubular. Tanda-tanda awal suatu lesi glomerulus adalah proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai dengan beratnya penyakit.
d. Retinopati Diabetik
Kebutuhan pada penderita diabetes seringkali sebagai akibat perubahan mikrovaskuler pada retina. Selain retinopati, penderita diabetes melitus juga dapat mengalami pembentukan katarak yang diakibatkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
e. Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi syaraf-syaraf perifer, sistem saraf otonom medula spinalis, atau sistem syaraf pusat. Banyak dan berbagai macam gejala yang timbul tergantung neuro yang terkena. Akumulasi surbital dan perubahan-perubahan metabolik lain dalam sintesa atau fungsi myelin yang dikaitkan dengan hiperglikemi dapat menimbulkan perubahan kondisi syaraf. Penderita diabetes melitus dapat mengalami neuropati yang mempengaruhi sistem saraf otonom. Pada keadaan ini dapat terjadi perubahan mobilitas lambung sehingga menyebabkan tidak tergantung absorbsi makanan, inkontinensia atau impoten atau ketidakmampuan untuk mengenal tanda-tanda awal hipoglikemia.
f. Perubahan ekstremitas bawah
Perubahan-perubahan makrovaskuler dan neuropati semuanya menyebabkan perubahan-perubahan pada ekstremitas bawah. Perubahan yang penting adanya anestesia yang timbul karena hilangnya fungsi saraf-saraf sensorik. Keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren.


B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
1) Riwayat diabetes melitus
2) Usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 30 tahun.
3) Obesitas
4) Tidak enak badan.
5) Gejala serang tiba-tiba berangsur-angsur.
b. Pola nutrisi metabolik
1) Rasa haus dan lapar yang berlebihan
2) Mual dan muntah
3) Banyak minum dan makan
4) Riwayat diet sebelumnya
5) Kehilangan atau peningkatan berat badan.
c. Pola eliminasi
1) Poliuria
2) Konstipasi/diare
3) Nokturia
4) Glukosuria
5) Pemberian diuretika
6) Inkontinensia
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelemahan, letih yang tiba-tiba
2) Riwayat kurang latihan atau efektifitas
3) Atrofi otot
e. Pola tidur dan istirahat
1) Gangguan tidur akibat nokturia
2) Mudah ngantuk setelah makan
f. Pola persepsi dan kognitif
1) Pusing / sakit kepala
2) Gatal-gatal infeksi saluran kemih, veginitis
3) Penglihatan kabur
4) Nyeri abdomen
5) Luka yang lama / susah sembuh
6) Rasa gatal dan kesemutan
g. Pola seksual dan reproduksi
1) Impotensi
2) Keputihan / vaginitis
3) Penurunan libido
h. Pola koping terhadap stres
1) Depresi
2) Apatis
3) Kecemasan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hiperglikemi b.d tidak adekuatnya faktor insulin atau insulin yang resisten.
b. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit DM, tanda dan gejala b.d kurangnya informasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang kurang.
d. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d kadar glukosa tinggi dan perubahan pada sirkulasi.
e. Perubahan konsep diri (body image) b.d diuresis osmotik (hiperglikemi).

3. Perencanaan
a. Hiperglikemi b.d tidak adekuatnya faktor insulin atau insulin yang resisten.
Hasil yang diharapkan (HYD) :
- Dalam waktu dua jam klien akan mengalami perbaikan angka gula darah, bangun dan terjaga serta tanda-tanda dalam batas normal.
- Dalam 24 – 48 jam pertama pasien akan menunjukkan tidak ada tanda-tanda hipoglikemi.

Rencana Tindakan :
1) Kaji tanda-tanda hiperglikemi seperti : pusing, penglihatan kabur, lemas, mual muntah.
R/ Untuk mengidentifikasi lebih awal dan pemberian pengobatan selanjutnya.
2) Monitor dan catat gula darah perifer, glukosuria dan BB perhari.
R/ Menentukan diagnosa dan perencanaan keperawatan selanjutnya.
3) Observasi tanda-tanda penggunaan obat hipoglikemi : muka pucat, bingung, sakit kepala, banyak keringat, lemas, napas pendek.
R/ Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba.
4) Observasi tanda-tanda ketoasidosis : mual – muntah, keletihan, poliuria, haus, takikardi, turgor kulit jelek, napas bau keton, pernapasan Kusmaul, hipotensi, nyeri abdomen.
R/ Tidak adekuatnya pengawasan pengobatan diet yang berlebihan, infeksi, stres, atau interaksi lainnya merupakan faktor presipitasi ketoasidosis.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi analgetik.
R/ Analgetik diberikan untuk mengurangi nyeri.

b. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit DM, tanda dan gejala b.d kurang informasi.
Hasil yang diharapkan (HYD) :
Dalam waktu 48 jam klien akan mengetahui perencanaan diet, observasi dan mempraktekkan teknik infeksi, mempraktekkan tes gula darah dan glukosa darah..
Rencana Tindakan :
1) Kaji tingkat kurang pengetahuan klien.
R/ Perencanaan perawatan memberikan petunjuk dan pengajaran kepada klien.
2) Ajarkan penanganan dengan pemakaian insulin atau obat hiperglikemik oral selama pengobatan penyakit.
R/ Pentingnya bagi klien tentang penanganan orang DM di rumah.
3) Koordinasi kepada klien dan keluarga tentang perencanaan diet yang rumit dan tidak terjadi kesalahan.
R/ Menolong klien dan keluarga tentang perencanaan diet yang rumit dan tidak terjadi kesalahan.
4) Ajarkan metode tes gula darah dan glukosa urin yang akan digunakan di rumah.
R/ Penanganan DM yang baik memerlukan monitor sendiri dari klien dalam menentukan gaya hidup, pengobatan, diet, dan latihan yang baik.
5) Tekankan pentingnya aktivitas dan latihan, pertahankan kira-kira tingkat keseimbangan aktivitas dari hari ke hari.
R/ Latihan menstimulasikan metabolisme karbohidrat, menurunkan TD, menolong atau mengurangi komplikasi sirkulasi dari peningkatan hipoprotein.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang kurang.
Hasil yang diharapkan (HYD) :
1) Mencerna jumlah kalori atau nutrisi yang tepat.
2) Mendemonstrasikan BB stabil.
Rencana Tindakan :
1) Timbang BB setiap hari atau sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2) Tentukan program diit dan pola makanan klien.
R/ Mengidentifikasi kurang, penyimpangan dan kebutuhan terapeutik.
3) Auskultasi bising usus, adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntah.
R/ Hyperglikemi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung yang dapat mempengaruhi pilihan intervensi.
4) Identifikasikan makanan cair yang disukai, dikehendaki termasuk kebutuhan etik atau kultural.
R/ Jika makanan yang disukai klien, dikehendaki dalam perencanaan, kerjasama itu dapat diupayakan setelah pulang.
5) Pantau pemeriksaan lab : GD, Aceton, pH, HCO3 dan terapi insulin terkontrol.
6) Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran kulit lembab, nadi cepat, lapar, cemas dan pusing).

d. Risti terhadap infeksi b.d kadar glukosa tinggi dan perubahan pada sirkulasi.
Hasil yang diharapkan (HYD) :
1) Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah, menurunkan resiko infeksi.
2) Mendemonstrasikan tehnik, perubahan gaya untuk mencegah terjadinya infeksi.
Rencana Tindakan :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan tanda peradangan : demam, kemerahan, adanya pus pada luka, sputum purulen, urine keruh.
R/ Kemungkinan klien masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis/mengalami infeksi noso-komial.
2) Tingkatkan upaya pencegahan dan melakukan cuci tangan pada semua orang yang berhubungan dengan pasien.
R/ Mencegah infeksi silang (nosokomial).
3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif (pemasangan infus, catheter folley, dll).
R/ Kadar glukosa tinggi, darah akan menjadi media bagi pertumbuhan kuman.
4) Berikan perawatan kulit dengan teratur, massage daerah tulang yang tertekan, juga kulit tetap kering.
R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan klien pada resiko terjadinya kerusakan pada kulit dan infeksi.

e. Perubahan konsep diri (body image) b.d perubahan gaya hidup serta proses penyakit yang kronis.
Hasil yang diharapkan (HYD) :
1) Motivasi kebiasaan positif tentang diri dalam menangani penyakit.
2) Perencanaan yang terus menerus dengan perawatan yang terkontrol.
Rencana Tindakan :
1) Diskusikan dengan klien tentang masalah yang dihadapi.
R/ Merencanakan dan menentukan intervensi keperawatan.
2) Meningkatkan pendidikan tentang DM dan pentingnya supprt dari sesama penderita.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang DM dan dapat berbagi pengalaman.
3) Dorong klien untuk aktif melakukan penanganan yang kreatif sesuai kebutuhan.
R/ Meminimalkan komplikasi DM terhadap perubahan gaya hidup.

4. Discharge Planning
a. Penyuluhan kesehatan tentang diit.
1) Penyuluhan awal menunjukkan pentingnya kebiasaan makan yang konsisten dan mematuhi diit yang diberikan.
2) Jelaskan kepada keluarga pentingnya mempertahankan masukan makanan yang adekuat.
3) Ajarkan klien untuk membaca label makanan sehat karena sering mengandung produk gula, misalnya : madu, gula jawab dan syrup.

b. Olahraga
1) Olahraga penting karena efeknya pada penurunan kadar gula darah dan penurunan faktor-faktor risiko kardiovaskuler.
2) Efek olahraga sangat berguna dalam penurunan berat badan dan menurunkan stress.
3) Waspada terhadap hipoglikemi pasca olahraga yang terjadi setelah beberapa jam olahraga.
4) Olahraga dan penatalaksanaan diit memperbaiki metabolisme glukosa dan meningkatkan kehilangan lemak tubuh pada individu DM tipe II.
5) Periksa gula darah sebelum selama dan setelah olahraga.
6) Dorong klien untuk melakukan olahraga secara teratur setiap hari.



DAFTAR PUSTAKA


Anugrah, dr Roten (alih bahasa) (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Sylvia Anderson Price, Buku 5, Edisi 4, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

C. Long, Barbara (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan). Edisi ke-3, Cetakan I, Bandung, Yayasan IAPK, Padjajaran Bandung.

Karisa, I. M, SKp (alih bahasa) (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Doengoes. M, Edisi 3, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kuncara, dr. H (alih bahasa) (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical, Brunner and Suddarth, Volume 2, Edisi 8, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lewis, S. Heitkemper, M (2002). Medical Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical Problems. Fifth Edition Mosby.

Sherwood Laurelee (2003). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Jakarta : EGC.

www.Google.com

ASKEP HIPERTENSI PADA LANSIA

TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Gerontik
1. Definisi
• Geriatrik adalah cabang ilmu kedokteran yang membahas fisiologi proses menua dan diagnosa serta pengobatan penyakit yang dipengaruhi oleh usia, terfokus pada kondisi abnormal dan penatalaksanaan medik terhadap kondisi itu.
• Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari semua aspek proses menua, termasuk psikologis, klinis, ekonomi, dan sosiologis pada lansia dan konsekuensi masalah-masalah itu pada lansia dan masyarakat.

Gerontik atau keperawatan gerontik dinyatakan oleh Gunter dan Ester tahun 1979 untuk mendefinisikan asuhan keperawatan dan pemberian pelayanan pada lansia.
Tujuan keperawatan gerontik adalah menjaga dan meningkatkan kesehatan sampai batas yang memungkinkan dan memberi kenyamanan dan asuhan sampai batas yang dibutuhkan (Wold, 1999).

2. Klasifikasi Lansia
Menurut WHO lansia meliputi:
a. Usia Pertengahan (Middle Age) adalah kelompok usia dari 45-59 tahun.
b. Lansia (Elderly) adalah kelompok usia dari 60-70 tahun.
c. Lansia tua (Old) adalah kelompok usia dari 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) di atas 90 tahun.

3. Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
a. Perubahan Fisik
1) Sel
• Jumlah sel lebih sedikit dan berukuran besar.
• Cairan tubuh berkurang.
2) Sistem Persyarafan
• Cepat menurun hubungan persyarafan.
• Lambat dalam berespon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dalam stress.
• Mengecilnya syaraf panca indera, berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman, dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap cuaca yang dingin.
3) Sistem Gastro Intestinal
• Kehilangan gigi
• Penurunan indera pengecap
• Rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan lambung menurun.
• Peristaltic lemah, biasanya konstipasi
• Fungsi absorbsi melemah
4) Sistem Genitourinaria
• Otot-otot kandung kemih menurun
• Pembesaran prostat
5) Sistem Endokrin
• Produksi dari hampir seluruh hormon menurun
6) Sistem Integumen
• Kulit mengkerut atau keriput
• Kulit kepala dan rambut menipis, warna kelabu
• Berkurangnya elastisitas karena menurunnya cairan dan vaskularisasi
• Kuku jari keras dan kaku
• Kelenjar keringat berkurang
7) Sistem Muskuloskeletal
• Tulang kelihatan densiti dan makin rapuh
• Kiposis
• Persendian besar dan kaku
b. Perubahan Mental
1) Perubahan kepribadian yang drastis.
2) Kenangan lama tidak berubah, kenangan jangka panjang di ingat sedangkan kenangan jangka pendek tidak dapat diingat.
3) IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan psikomotor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
- Perubahan fisik
- Kesehatan umum
- Tingkat pendidikan
- Keturunan
- Lingkungan
c. Perubahan Psikosis
1) Merasakan atau sadar akan kematian
2) Perubahan dalam cara hidup
3) Penyakit kronis dan ketikakmampuan
4) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial
5) Gangguan saraf indera, timbul kebutaan dan ketulian
6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan
7) Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.

B. Konsep Dasar Medik
1. Definisi
Hipertensi secara umum adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg terjadi pada seseorang paling sedikit 3 waktu yang berbeda. (Brunner and Suddarth’s. Medical Surgical Nursing, 2000).
Hipertensi menurut WHO adalah peningkatan tekanan darah lebih dari atau sama dengan 160/90 mmHg. (Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 1998).






Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC = Joint National Comitte
Kategori

Optimal
Normal
High Normal
Hipertension
(Hipertension > tinggi dari normal)
Stage 1
Stage 2
Stage 3 Systole
(mmHg)
< 120 < 130 130-139 140-159 160-179 > 180 Diastolit
(mmHg)
< 80 < 85 85-89 90-99 100-109 > 110


2. Anatomi dan Fisiologi
Sistem kardiovaskuler terdiri dari jantung, arteri, kapiler, vena dan limfatik. Fungsi dari jantung adalah:
a. Memompa oksigen dan makanan dalam darah di dalam sistem arteri yang kemudian dibawa ke sel.
b. Membawa sisa-sisa karbon dioksida (CO2) melalui vena ke paru-paru.
Jantung terdiri dari dua atrium dan 2 ventrikel:
a. Atrium kanan menerima CO2 dalam darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan inferior.
b. Ventrikel kanan, memompakan darah ke paru-paru melalui arteri pulmonal.
c. Atrium kiri, menerima darah yang dapat mengandung banyak CO2 dari paru-paru melalui 4 venal pulmonal, darah kemudian dipompa ke ventrikel kiri.
d. Ventrikel kiri merupakan darah ke seluruh tubuh melalui aorta.
Jantung mempunyai 2 jenis katup:
a. Katup dari Arteri Ventricular
Yang memisahkan antara atrium dan ventrikel. Katup Trikuspidalis di bagian kanan dan Bicuspid (mitral) di kiri.
b. Katup Semilunar
Yang mencegah darah kembali ke ventrikel selama fase ke relaksasi (diastol). Tidak seperti katup arteri ventricular. Katup semiluar terbuka selama kontraksi ventrikel. Katup semilunar pulmonal membatasi antara ventrikel kanan dan katup pulmonal, katup semilunar aorta membatasi antara ventrikel kiri dan aorta.
Cardiac output adalah volume darah yang dikeluarkan oleh setiap ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal atau sistemik cardiac output (curah jantung) ditentukan oleh isi sekuncup (stroke volume) dan banyaknya denyutan jantung (heart rate).
Heart rate normalnya adalah 60-90 kali permenit. Variasi dalam frekuensi hearth rate ditentukan atau disebabkan oleh: latihan, ukuran tubuh, umur, jenis kelamin, hormon Tiroksin, temperatur dan tekanan darah.
Tekanan darah dihasilkan dari curah jantung dan tahanan perifer, sehingga semua faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer mempengaruhi tekanan darah.
Tekanan darah mencerminkan hubungan dari berbagai faktor hemodinamik yaitu cardiac output, tahanan pembuluh darah perifer, volume darah, kekentalan darah, elastisitas pembuluh darah, hormon adrenalin dan enzim serta kemoreseptor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah umur, stimulasi saraf simpatik, jenis kelamin dan obat-obatan anti defrensent. Ada empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah:
a. Barareseptor arteri terutama terdapat pada sinus karotis, arkus aorta dan dinding ventrikel kiri.
b. Perubahan volume cairan mempengaruhi tekanan arteri sistemik.
c. Sistem Renin dan angiotensin, sama-sama berperan dalam pengaturan tekanan darah.
d. Sistem Autoregulasi vaskuler adalah mekanisme lain yang mungkin pada hipertensi. Terjadi proses yang memelihara perfusi jaringan tubuh relatif konstan. Autoregulasi merupakan mekanisme penting yang menyebabkan hipertensi akibat kelebihan air dan garam.
Jantung juga memompakan darah ke otak melalui arteri karotis kanan dan kiri yang bercabang menjadi arteri karotis internal dan eksternal. Dalam tengkorak arteri karotis bercabang-cabang. Arteri-arteri tersebut mensuplai darah ke hemisfer adalah belahan otak kiri dan kanan. Setiap hemisfer otak berkaitan dengan sisi tubuh kolateral. Hal tersebut adalah salah satu ciri khas sehubungan dengan pengaturan sensasi dan motoris.
Hemisfer kiri mempunyai spesialisasi untuk:
a. Bahasa
b. Kalkulasi matematik
Hemisfer kanan mempunyai spesialisasi untuk:
a. Proses pemahaman sesuatu secara keseluruhan.
b. Menerima gambaran penglihatan abstrak, musik, ke semua ruang, dan
c. Emosional.

3. Etiologi Hipertensi
a. Hipertensi esensial (primer/idiopatik) tidak diketahui penyebabnya secara pasti.
b. Hipertensi sekunder
• Gangguan kontrasepsi oral
• Penyakit parenkim dan vaskular renal
• Gangguan endokrin
• Neurologik
- Tumor otak
- Encephalitis
- Gangguan psikiatri
- Peningkatan volume intra vaskuler
- Luka bakar
• Faktor lain
- Kegemukan
- Pemasukan lemak yang tinggi
- Pemasukan garam
- Merokok
- Stress
- Riwayat penyakit pada keluarga : DM dan jantung.

4. Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologi dan penyebabnya ada dua golongan hipertensi adalah suatu gangguan/penyakit dimana arteriola memberi perlawanan abnormal terhadap aliran darah.
Pada awalnya timbulnya hipertensi esensial, tidak ditemukan secara nyata pada pembuluh darah dan organ. Juga individu tersebut tidak mengalami tanda dan gejala atau sedikit dengan kenaikan tekanan darah yang labil. Secara perlahan dengan kenaikan keadaan yang patologik pada pembuluh darah yang besar maupun pembuluh darah kecil dalam jantung, ginjal dan otak.
Akan terjadi adanya penyempitan pembuluh darah besar dan kecil, di otak, jantung, ginjal dan perifer sehingga menyebabkan terus menerus berlanjut sehingga pembuluh darah mengalami kemacetan dan perdarahan.
Kerusakan pada pembuluh darah kecil juga berbahaya karena dapat merusak jantung, ginjal dan otak. Bila arteriola menyempit maka jantung harus lebih kuat berkontraksi untuk mempertahankan cardiac output yang normal, hal ini terus berlanjut maka jantung mengalami kerja keras sehingga bisa muncul adanya hipertensi jantung khususnya ventrikel sebelah kiri. Bila tidak bisa mempertahankannya maka akan terjadi gagal jantung.
Mekanisme utama terjadinya hipertensi sekunder adalah :
a. Bertambahnya sekresi catecholamines
b. Bertambahnya renin
c. Peningkatan kadar sodium dan volume darah.
Kelenjar adrenal mengeluarkan aldosteron, kortisol dan catecholamin yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Kelebihan aldosteron menyebabkan retensi garam dan air, dapat meningkatkan volume darah dan menaikkan tekanan darah.

5. Tanda dan Gejala
• Tekanan darah sistolik > 160 mmHg
• Tekanan darah diastolik > 90 mmHg
• Tachycardi
• Heart rate meningkat
• Sakit kepala
• Pusing
• Wajah tampak tegang dan merah
• Mata berkunang-kunang
• Epistaksis
• Banyak keringat
• Mual dan muntah
• Kesemutan
• Gelisah
• Tremor
• Kelemahan
• Pandangan mata kabur
• Wajah terasa panas

6. Test Diagnostik
a. ECG
b. Thorax foto dapat ditemukan adanya pembesaran ventrikel kiri
c. IVP (Intra Venus Pyelografi) ditemukan kelainan pada hipertensi venovaskuler
d. Cek HB
e. CT Scan Kepala
f. Serum colesterol dan triglicerida
Menjadi modifikasi predisposisi adanya artheromatous palguring
g. BUN/Creatinin memberi informasi tentang fungsi ginjal
h. Urinalysis: darah, protein, glukosa menjadi petunjuk adanya disfungsi venal dan adanya diabetes
i. Ureum dan creatinin darah meningkat

7. Therapi
a. Tirah baring
b. Diet: rendah kalori, rendah lemak dan rendah garam
c. Program latihan
 Latihan isotonik secara teratur seperti berjalan, berenang dapat membantu, mengontrol.
 Latihan isometrik seperti mendorong dapat merangsang pengeluaran kate kolamin
d. Mengurangi stress
e. Hindari merokok dan minuman beralkohol
f. Menurunkan berat badan apabila berat badan lebih dari berat badan normal
g. Therapi obat
Tujuan dari pemberian obat adalah:
 Mengurangi/mempertahankan tekanan darah diastolik < 90 mmHg
 Mengurangi gejala seminimal mungkin
 Mengurangi tahanan perifer
 Mengurangi volume dan sirkulasi darah
Obat-obatan anti hipertensi adalah:
a. Angiotensin Converting Enzim (ACE) Inhibitor seperti: Captopril
b. Beta adrenegic Bloker antara lain: Acebutolol, Propranolol
c. Calcium Channel Blocker antara lain: Nifedipine, Nicardipine
d. Alfa adrenegic yang bekerja pada sentral seperti: Catapres
e. Diuretik antara lain Furosemida, hydrochlorothiazed
f. Anti Adveenergic yang bekerja pada perifer seperti: Reserpine

8. Komplikasi
a. CAD (Coronary Artery Disease)
b. Angina Pectoris dan Myocardiac Infarction
c. Arithmia dan kematian
d. Stroke/CVD
e. Hipertensi maligna
f. Hipertensi enchephalopaty
g. Gagal ginjal
h. Pembuluh darah perifer dan hemiplegia

C. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
 Riwayat keluarga yang mengidap hipertensi, diabetes melitus atau penyakit cardiovaskular, obesitas.
 Riwayat menderita hipertensi menahun, diabetes melitus
 Kebiasaan mengontrol kesehatan penggunaan obat-obatan antihipertensi
 Riwayat merokok, minum-minuman keras
 Menggunakan kontrasepsi pil
b. Kajian Pola Nutrisi Metabolik
 Menyukai makanan yang mengandung tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol misalnya makanan gorengan, keju, telur, makanan tinggi kalori, gula
 Mual, muntah
 Perubahan berat badan
 Riwayat penggunaan diuretik
 Adanya edema
c. Kajian Pola Eliminasi
 Riwayat yang berhubungan dengan ginjal misalnya adanya penyakit GNA, GNC.
d. Kajian Pola Aktivitas dan Latihan
 Kelemahan, kelelahan, sesak nafas
 Tachypnea
 Riwayat hipertensi, atherosclerosis, coronary artery hearth disease
 Rasa berdebar
 Dysrithmia
 Terdengar bruit vaskular di atas karotis
 Ketegangan arteri jugularis
 Perubahan warna kulit
 Kulit pucat
 Murmur
 Pembesaran ventrikel kiri
 Kelumpuhan pada otot wajah, lengan, dan kaki pada penderita hemiplegia
 Dyspnea, batuk tanpa sputum
 Kesulitan bernafas
 Cyanosis
e. Kajian Pola Persepsi Sensori dan Kongestif
 Pengetahuan tentang terapi obat, memonitor tensi
 Pengetahuan tentang diet
 Pusing, sakit kepala
 Gangguan penglihatan
 Baal
 Nyeri yang sebentar-sebentar pada kaki
 Nyeri abdomen
 Gangguan orientasi: orang, tempat, waktu
 Gangguan dalam wicara
 Gangguan koordinasi
f. Kajian Pola Persepsi dan Konsep Diri
 Kecemasan
 Gangguan konsep diri khususnya gambaran diri
 Rasa malu, rendah diri
g. Kajian Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
 Gangguan komunikasi verbal karena pelo, aphasia
h. Kajian Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
 Gelisah, depresi, kemarahan
 Gerakan tangan yang tidak terkontrol, gerak-gerik menghembuskan nafas panjang, pola kemampuan berbicara dipercepat
 Menangis.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.
2. Perubahan pola nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan metabolik dan kurang aktivitas.
3. Ketidakmampuan merawat diri berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas, ketidaknyamanan, digambarkan dengan keterbatasan aktivitas dan gangguan penglihatan.
4. Nyeri akut (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit.

3. Perencanaan
1. Perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.
HYD: Pasien akan memelihara secara adekuat perfusi jaringan sistemik yang ditunjukkan dengan:
- Tekanan darah dan nadi berkurang sampai normal
- Pernafasan sekitar 16-20 x/menit.
- Status mental biasa.
- Kulit hangat dan warna biasa.
- Nadi perifer teraba.
- Waktu capilari refil kurang 3 detik.
- Pengeluaran urin di atas 30 cc/jam.
Intervensi:
- Monitor dan catat tanda dan gejala perfusi jaringan sistemik berkurang.
- Anjurkan pasien untuk bedrest, posisi tidur kepala lebih tinggi.
R/: Memberi rasa nyaman dan mengurangi ketegangan.
- Observasi tekanan darah saat berdiri, duduk dan berbaring.
R/: Mengetahui adanya hipertensi orthostatik.
- Berikan cairan perparenteral sesuai dengan indikasi dan batasi konsumsi garam.
R/: Mengurangi retensi cairan.
- Kolaborasi dengan tim medik: berikan obat-obat anti hipertensi, anti diuretik.
R/: Membantu mengurangi kelebihan cairan dan menurunkan tensi.
- Observasi dan catat efek samping pada tiap-tiap obat.
R/: Deteksi dini adanya gejala keracunan obat.
- Ukur intake dan output tiap 24 jam.
R/: Mengetahui keadaan cairan tubuh dan keadaan ginjal.
- Anjurkan pada pasien untuk mengurangi rokok atau berhenti merokok.
R/: Merokok menyebabkan vasokonstriksi.

2. Perubahan pola nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan metabolik dan kurang aktivitas.
HYD:
- Mengidentifikasi hubungan antara hipertensi dan obesitas.
- Mendemonstrasikan perubahan dalam pola makan misalnya memilih makanan, kuantitas makanan dan sebagainya.
- Pasien mau mengikuti program latihan.



Intervensi:
- Kaji pengetahuan pasien tentang hubungan antara hipertensi dan kegemukan. Diskusikan untuk mengurangi kalori dan pembatasan garam, lemak dan gula sesuai instruksi.
R/: Obesitas adalah satu tambahan risiko yang berhubungan dengan tekanan darah sebab terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas aorta dan peningkatan cardiac output berkaitan dengan peningkatan berat tubuh.
- Dorong pasien agar mempunyai hasrat untuk menurunkan berat badan.
R/: Pasien harus mempunyai keinginan untuk menurunkan berat badan atau program tidak akan berjalan dengan sukses.
- Dorong pasien untuk mempertahankan pemasukan makanan setiap hari termasuk kapan, dimana dan perasaan ketika makan.
R/: Menyediakan data dasar tentang makanan yang dimakan dan kondisi emosional saat makan.
- Instruksikan dan bantu dalam menyeleksi makanan.
Hindari makanan yang mengandung tinggi lemak saturasi (mentega, keju, ice cream, daging), makanan tinggi kolesterol seperti daging yang berlemak, organ hewan dan udang.
R/: Menghindari makanan tinggi lemak dan kolesterol adalah penting untuk mencegah perkembangan atherosclerosis.
- Kolaborasi dengan ahli diit sesuai dengan indikasi.
R/: Memberikan bantuan dengan mengembangkan pengetahuan tentang diit.

3. Ketidakmampuan merawat diri berhubungan dengan tidak toleransi dalam beraktivitas, ketidaknyamanan, digambarkan dengan keterbatasan aktivitas dan gangguan penglihatan.
HYD: Pasien akan menunjukkan partisipasi dalam beraktivitas perawatan dirinya dengan keterbatasan fisiknya sesuai kondisi pasien.
Intervensi:
- Kaji faktor-faktor yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukan perawatan diri seperti: kelemahan, kelelahan, gangguan penglihatan dan pusing.
R/: Membantu menentukan intervensi selanjutnya.
- Diskusikan bersama pasien suatu rencana untuk memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.
R/: Pasien dapat ikut berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhannya.
- Lakukan tindakan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
• Motivasi pasien terhadap perawatan.
• Diskusikan jadwal yang mampu dilakukan pasien, seperti pada reaksi puncak analgetik sesudah istirahat, tidak segera sesudah makan atau pengobatan.
• Letakkan benda-benda keperluan pasien pada tempat yang mudah dijangkau.
• Bila penglihatan terganggu, bantu pasien untuk mengetahui letak piring makan, handuk dan lain-lain, dan letakkan pada tempat yang mudah dijangkau pasien serta beritahu pasien.
R/: Mempercepat kemandirian pasien, kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
- Berikan umpan balik yang positif terhadap semua yang telah dicapai oleh pasien dalam memenuhi aktivitas perawatan dirinya.
R/: Memberi dukungan kepada pasien.
- Kaji aktivitas yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
R/: Memberikan gambaran sejauh mana bantuan dibutuhkan pasien.

4. Nyeri akut (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral.
HYD:
- Nyeri berkurang atau dapat dikontrol.
- Mengungkapkan cara-cara untuk mengurangi nyeri.
Intervensi:
- Pertahankan tirah baring pada fase akut.
R/: Meningkatkan relaksasi.
- Sediakan therapi nonfarmakologik seperti kompres dingin di dahi, lingkungan yang tenang, teknik relaksasi dan aktivitas pengalihan.
R/: Mengurangi tekanan vaskuler cerebral.
- Meminimalkan aktivitas yang menimbulkan sakit kepala seperti mengejan, batuk dan membungkuk terlalu lama.
R/: Aktivitas tadi menimbulkan vasikonstriksi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sakit kepala.
- Bantu pasien waktu beraktivitas.
R/: Membantu memenuhi kebutuhan pasien.
- Berikan obat sesuai indikasi misalnya analgesik.
R/: Mengontrol dan mengurangi nyeri.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit.
HYD:
- Mengungkapkan pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatan.
- Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan
- Mempertahankan tekanan darah dalam batas normal.
Intervensi:
- Jelaskan tentang definisi dan batasan tekanan darah normal dari hipertensi dan efeknya terhadap jantung, pembuluh darah, ginjal dan otak.
R/: Menyediakan pengetahuan dasar tentang peningkatan tekanan darah dan pengobatan.
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko seperti obesitas, mengkonsumsi makan tinggi lemak, kolesterol, merokok, alkohol dan lingkungan yang menimbulkan stress.
R/: Faktor risiko ini berkaitan dengan hipertensi dan penyakit cardiovaskuler.
- Diskusikan pentingnya menghentikan merokok.
R/: Nikotin meningkatkan cahtecolamin yang menyebabkan peningkatan heart rate.
- Jelaskan secara rasional, dosis, efek samping dan pentingnya pengobatan.
R/: Dengan adanya informasi yang adekuat yang dapat mendukung rencana pengobatan.
- Hindari mandi air panas, sauna dan penggunaan alkohol.
R/: Mencegah terjadinya vasodilatasi dan berbahaya menjadi hipotensi.
- Instruksikan pasien untuk mengkonsultasikan kesehatannya sebelum melakukan pengobatan jenis lain.
R/: Penting untuk mencegah terjadinya interaksi obat yang berbahaya.
- Jelaskan secara rasional untuk program diit (diit rendah garam, kolesterol, lemah).
R/: Makanan tersebut merupakan makanan yang berisiko terhadap penyakit hipertensi.
- Mengurangi pemasukan makanan tinggi lemak saturasi (hewani).
R/: Makanan tersebut mempercepat atherosclerosis.
- Dorong pasien untuk melakukan program latihan seperti jalan, berenang sesuai dengan kemampuan pasien.
R/: Membantu menurunkan tekanan darah.
- Instruksikan kepada pasien untuk melaporkan adanya sakit kepala, nyeri dada, gangguan penglihatan, adanya depresi, emosional yang labil, efek samping obat.
R/: Hal-hal tersebut dapat menjadi tanda adanya komplikasi efek samping obat.

4. Discharge Planning
- Berikan nilai normal tekanan darah pasien.
- Informasikan pada pasien bahwa hipertensi seringkali tanpa gejala dan tak dapat mengindikasikan TD.
- Jelaskan hipertensi berarti meningkatnya tekanan darah tidak berhubungan dengan kepribadian yang tinggi.
- Jelaskan tentang pentingnya perawatan dan pengobatan (terapi) dalam jangka waktu yang lama.
- Jelaskan bahwa terapi bukan untuk mengobati tapi untuk mengontrol hipertensi.
- Jelaskan pada pasien bahwa hipertensi dapat dikontrol atau diatasi dengan mengetahui prognosis yang ada.
- Jelaskan bahaya dan potensial terjadi dari hipertensi yang tidak terkontrol.
- Jelaskan secara spesifik nama, cara kerja, dosis dan efek samping dari obat-obatan yang diberikan.
- Jelaskan kepada pasien untuk secara teratur dan tepat waktu dalam minum obat.
- Jelaskan kepada pasien jangan berhenti minum obat secara tiba-tiba karena putus obat menyebabkan reaksi hipertensi yang lebih berat.
- Jelaskan kepada pasien jangan doubel minum obat jika suatu saat lupa minum obat.
- Informasikan kepada pasien jika terjadi peningkatan TD, jangan meningkatkan dosis obat sendiri, konsultasikan dahulu ke petugas kesehatan.
- Jelaskan kepada pasien jangan menggunakan atau minum obat orang lain dengan penyakit yang sama.
- Jelaskan kepada pasien efek samping dari obat yang mempunyai batasan waktu.
- Jelaskan kepada pasien untuk konsultasi dengan petugas kesehatan bila perubahan obat dan dosis menyebabkan adanya perubahan seksual dan masalah seksual.
- Jelaskan untuk diet suplemen dengan makanan yang tinggi potosium (seperti: buah citrus, sayuran hijau) jika adanya kehilangan potosium.
- Jelaskan kepada pasien untuk mandi air hangat, tidak minum alkohol dan tidak melakukan pekerjaan kurang lebih 3 jam minum obat yang meningkatkan vasodilatasi.
- Jelaskan penurunan hipertensi ditostatik dengan bangun perlahan dari posisi berbaring, duduk di sisi tempat tidur selama beberapa menit, berdiri perlahan-lahan, jangan berdiri dalam waktu yang lama, melatih tungkai meningkatkan venus roturn, tidur dengan kepala tempat tidur ditinggikan atau menggunakan bantal, dan jangan duduk jika terjadi dizziness.

Kamis, 03 Maret 2011

ASKEP MENINGITIS

MENINGITIS

A. Pengertian
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
B. Etiologi
  1. Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
  2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
  3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
  4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
  5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
  6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.
C. Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
  1. Meningitis serosa
    Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

  1. Meningitis purulenta
    Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
D. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

E. Manifestasi klinis

Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
  1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
  2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
  3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb :
    • Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
    • Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
    • Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
  4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
  5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
  6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
  7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata.
F. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
    • Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
    • Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
  2. Glukosa serum : meningkat (meningitis)
  3. LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
  4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
  5. Elektrolit darah : Abnormal.
  6. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
  7. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
  8. Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
G. Komplikasi
  1. Hidrosefalus obstruktif
  2. MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
  3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
  4. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
  5. Efusi subdural
  6. Kejang
  7. Edema dan herniasi serebral
  8. Cerebral palsy
  9. Gangguan mental
  10. Gangguan belajar
  11. Attention deficit disorder.

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Meningitis

A. Pengkajian
  1. Biodata klien.
  2. Riwayat kesehatan yang lalu
    • Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
    • Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
    • Pernahkah operasi daerah kepala ?
  3. Riwayat kesehatan sekarang
    • Aktivitas
      Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
    • Sirkulasi
      Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
    • Eliminasi
      Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
    • Makanan/cairan
      Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
      Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
    • Higiene
      Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
    • Neurosensori
      Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
    • Nyeri/keamanan
      Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal).
      Tanda : gelisah, menangis.
    • Pernafasan
      Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.
B. Diagnosa Keperawatan
  1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
  2. Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.

  1. Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.
  2. Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
  3. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan
  4. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
C. Intervensi
  1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
    Mandiri :
    • Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
    • Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
    • Pantau suhu secara teratur
    • Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
    • Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nafas dalam
    • Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau)
Kolaborasi :
    • Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.
  1. Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
    Mandiri :
    • Tirah baring dengan posisi kepala datar.
    • Pantau status neurologis.
    • Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang.
    • Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
    • Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi :
    • Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
    • Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit).
    • Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen.
  1. Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
    Mandiri :
    • Pantau adanya kejang
    • Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan.
    • Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.
  2. Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
    Mandiri :
    • Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
    • Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
    • Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
    • Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul.
Kolaborasi :
    • Berikan anal getik, asetaminofen, codein
  1. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
    • Kaji derajat imobilisasi pasien.
    • Bantu latihan rentang gerak.
    • Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
    • Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
    • Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
  2. Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
    • Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.
    • Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
    • Observasi respons perilaku.
    • Hilangkan suara bising yang berlebihan.
    • Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
    • Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
    • Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
  3. Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
    • Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
    • Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
    • Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
    • Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.





DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N

Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

ASKEP SGB

SINDROMA GUILLAIN BARRE (SGB)
Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
  • polineuritis akut pasca infeksi
  • polineuritis akut toksik
  • polineuritis febril
  • poliradikulopati,dan
  • acute ascending paralysis.
Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
  • Infeksi
  • Vaksinasi
  • Pembedahan
  • Penyakit sistematik:
o keganasan
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
  • Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
  1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
  2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
  3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
TEKS
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit  T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Patofisiologi
the
     


Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5.Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
huwwww
6.Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7.Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
huwwwww
Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB .

1.Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :
  • Sindroma Miller-Fisher
  • Defisit sensoris kranialis
  • Pandisautonomia murni
  • Chronic acquired demyyelinative neuropathy
2.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah  :
  • Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
  • Distal motor retensi memanjang
  • Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
  • Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
Terapi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
  • 6 merkaptopurin (6-MP)
  • Azathioprine
  • cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lian:
-          pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
-          mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
-          progresifitas penyakit lambat dan pendek
-          pada penderita berusia 30-60 tahun
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
  • Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
  • Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
  • Tidak mampu menelan air liurnya
  • Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
  • Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
  • Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
  • Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
2. Diagnosa Keperawatan
1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan
2). Kerusakan Mobilitas fusik b.d kerusakan neuromuskuler 3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan :
¢ Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
¢ Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal
Tindakan keperawatan
¢ Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
¢ Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
¢ Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan
¢ Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
¢ Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
¢ Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari ventilator
Kolaborasi
¢ Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar
¢ Cbservasi  persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan
¢ Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler
Tujuan
¢ Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria Hasil ;
¢ Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
Tindakan keperawatan
¢ Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
¢ Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit
¢ Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
¢ Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
¢ Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
¢ Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif
¢ Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.
Kolaborasi
¢ Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari